Senjakala Gerabah Sambirata

Proses penjemuran gerabah di desa Sambirata, Rembang, Purbalingga.
Proses penjemuran gerabah di desa Sambirata, Rembang, Purbalingga.

Potensidesa.com – Puluhan tahun warga Grumbul Sambirata Desa Wanogara Kulon Kecamatan Rembang Purbalingga menyebabkan gerabah selaku produk utama mereka. Kini mereka menghadapi masalah pelik. Tak ada anak muda yang meneruskan pekerjaan turun temurun itu.


Di suatu siang, belasan perempuan hilir mudik berlangsung kaki sembari menggendong tanah liat dipunggung mereka. Teriknya sengatan matahari tak sedikitpun membatasi semangat mereka. Wajah lelah dan gosong tak pernah mereka hiraukan. Dalam asumsi mereka, yang ada hanya bagaimana cara memperbesar penghasilan keluarga mereka. “Hampir sebagian besar warga sini melakukan pekerjaan selaku pembuat gerabah,” kata Kepala Dusun Sambirata, Madroji, 54 tahun, Sabtu (1/6).


Ia menyampaikan, sejumlah 44 keluarga dari 95 kepala keluarga di dusun itu bekerja selaku pembuat gerabah. Dari jumlah itu, 70 persen di antaranya sudah berusia lanjut.


Sambirata ialah tempat di lereng selatan Gunung Slamet. Begitu memasuki gapura desa, panorama gerabah yang sedang dijemur tersusun rapi di depan rumah-rumah warga. Hampir setiap rumah terdapat gerabah baik yang telah siap jual maupun yang masih dalam proses.


Madroji mengatakan, ada 10 jenis gerabah yang dihasilkan oleh para perajin. Di antaranya, kendil, layah, kuali, ciri, kekeb, sangan, blewung, pot, cewo, dan sangan bolong.


Kerja sama antar anggota keluarga sungguh terlihat disini. Setiap paginya, mereka menyebarkan tugas. Para istri mengambil tanah di lahan yang umum diambil tanahnya sedangkan para suami mengambil pasir di sungai selaku materi adonan dan mencari kayu selaku bahan bakar.


Untuk mengambil tanah, mereka mesti berlangsung dengan jarak yang lumayan jauh. “Kami mengambil tanah di sawah dengan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer. Dengan beban berat pastinya capai, namun karena sudah terbiasa jadi tidak terasa” ujar Ny Madroji (50), istri kadus setempat yang sekaligus juga seorang perajin gerabah.


Untuk membuat gerabah yang bagus, perbandingan antara pasir dan tanah liat yang dipakai mesti pas. Biasanya, satu keranjang tanah dicampur dengan satu kerangjang pasir. Jika tidak pas alhasil tidak akan elok. Biasanya akan pecah. Tanah yang digunakan yakni tanah lempung.


Setelah tanah dan pasir dicampur, proses selanjutnya adalah menginjak-injak gabungan tersebut hingga pulen sehingga gampang dibuat. Setelah itu dibuat sesuai dengan gerabah yang mau dibuat. Alat yang digunakanpun masih sungguh tradisional, ialah papan kayu pemutar, kerik dari bambu, kisik dari batu dan dalim.


Selesai dibuat, gerabah dikeringkan sampai setengah kering kemudian di kerik biar halus. Setelah itu, dikeringkan kembali hingga betul-betul kering. Setelah kering, gerabah dihaluskan lagi kemudian baru dibakar.


Proses pembakaran biasanya dilaksanakan setelah gerabah terkumpul banyak. Hal ini dikarenakan proses pembakaran memerlukan banyak tenaga. “Proses pembakaran ini yang menurut kami masih sungguh susah. Karena kami belum memperoleh alat yang pas agar pembakaran bisa maksimal,” ujar Nurois, 40 tahun, pembuat gerabah yang lain.


Jika cuaca mendukung, biasanya dalam satu minggu telah bisa dihasilkan gerabah siap jual. Tetapi kalau demam isu penghujan, mampu membutuhkan waktu lebih dari setengah bulan.


Nurois mengatakan, bergotong-royong telah ada alat untuk mengolah tanah yang diberikan oleh pemerintah dan pernah pula mengikuti acara pelatihan di Kasongan Yogyakarta, namun masyarakat enggan menggunakannya. Menurut ia tanah yang ada di sini berlawanan dengan tanah yang ada di Yogja sehingga hasilnyapun berlainan.


Dalam satu hari, rata-rata perajin bisa menghasilkan 50-100 buah gerabah aneka bentuk. Membuat gerabah ialah acara utama mereka, namun bukan sumber penghasilan mereka. Pendapatan dari membuat gerabah tidaklah seberapa. Para pengrajin menjadikannya sebagai aktivitas mengisi waktu sela mereka.


“Pekerjaan ini sudah dilaksanakan beberapa tahun yang kemudian, ketika masih muda. Hasilnya ngga seberapa, namun ketimbang nganggur tidak ada kerjaaan,” kata Mawiarja, 80 tahun, seorang nenek tua yang setiap harinya masih mampu menghasilkan satu kodi lebih gerabah.


 


Dibidang pemasaran tidak dijumpai adanya urusan. Para pengrajin lebih menentukan menjual hasil kerajinannya ke pengepul yang ada di desa dari pada memasarkan sendiri. Meskipun dengan harga yang kecil. “Kalau di hitung-hitung si jelas tidak seimbang dengan tenaga yang dikeluarkan. Tetapi dibandingkan dengan menanggung resiko tidak laris. Hitung-hitung juga melestarikan kebudayaan,” kata Sartini, 30 tahun.


Ia menyampaikan, gerabah Sambirata tidak hanya dipasarkan di sekitar kampung saja. Para pengepul menjualnya ke langganan mereka di luar kota.


“Gerabah ini umumnya dipasarakn ke kota dan ke luar kota, mirip Purwokerto, Banyumas, Banjarnegara, Bumiayu, Pangandaran. Kalau kendil pada umumnya oleh bidan-bidan,” kata Tumiarja, 50 tahun, salah seorang pengepul lokal.


Semakin hari, jumlah pengrajin makin menyusut. Rendahnya pemasukan dari membuat gerabah menciptakan anak muda lokal kurang kepincut untuk menggeluti pekerjaan yang telah turun temurun berada di sana. Mereka lebih suka merantau dengan penghasilan yang pastinya lebih tinggi.


“Sebenarnya duka bila hingga gerabah Sambirata punah. Tapi mau bagaimana lagi, paling nanti kerja dahulu ke luar kota. Nanti kalau pulang ke Sambirata gres melanjutkan lagi,” kata Rochyati, 18 tahun, salah satu dewasa di Sambirata.


Warga Sambirata berharap semoga kemakmuran para pengrajin mampu meningkat, sehingga eksistensi gerabah Sambirata mampu terus ada bahkan mendunia. “Harapan aku si supaya bisa dapat alat yang tepat dengan keperluan warga sini, jadi bisa dimanfaatkan warga secara maksimal agar produksinya bisa meningkat,” ungkap Nurois.


Ina Farida


0 Response to "Senjakala Gerabah Sambirata"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel