Wisata Bukit Tono Dan Eksotisme Roman Cinta Ajaib
Gambaran Umum Wisata Alam Bukit Tono
Buton yaitu akronim untuk mempopulerkan Bukit Tono yang begitu eksotis, terletak di ujung selatan wilayah Kabupaten Bojonegoro. Dengan alur perjalanan yang memanjakan mata bagi para turis, deretan hutan jati berada di sepanjang perjalanan.
Di rekreasi alam BUTON, kita akan dimanjakan pemandangan perbukitan yang fantastis dan eksotis, selain juga berbagai spot foto yang niscaya akan menciptakan ingatan kita di sana tak kan terlewatkan.
Nama Inovasi | Objek Wisata Bukit Tono (Buton) |
Pengelola | Pemerintah Desa Sambongrejo |
Alamat | Desa Sambongrejo, Kecamatan Gondang, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur |
Penanggung Jawab | Doel Paryono dan Elit Global |
Kontak | 081231082700 dan 085231788669/td> |
Fasilitas | Fasilitas yang tersedia di tempat ini yakni spot foto yang eksotis, gazebo, aneka kuliner, musholla, dan kawasan parkir. |
Banyak turis yang telah menikmati keindahan BUTON, tetapi barangkali belum semuanya mengenali roman yang ada di balik eksotisme BUTON.
Romantisme Cinta
Dalam kisah cinta Laila-Majnun digambarkan penderitaan Qais mananggung rindu dan bara cintanya terhadap Laila. Ia tak mampu berjumpa lagi dengan kekasih hatinya alasannya Laila dipingit orang tuanya setelah tahu cerita cinta pada pandangan pertama di sekolah menjadi gosip.
Qais mirip kehilangan tambatan hati sampai oleng, dalam hati dan fikirannya hanya ada sebuah nama Laila. Kemana-mana Qais menanyakan keberadaan Laila terhadap semua orang sampai lupa mengurus dirinya sendiri, lupa mandi, lupa ganti pakaian dan lupa waktu siang malam. Semua orang Arab menyebutnya Majnun alias ajaib.
Agar mampu merasa erat dan bisa melihat kekasih hatinya, Qais mendapatkan sebuah tempat di puncak bukit erat desa Laila dan di tempat tersebut membangun sebuah gubuk yang menghadap rumah Laila.
Di bukit tersebut ada suatu sungai kecil yang mengalir sampai ke desa Laila. Sungai yang basah jernih tersebut sebagai jalur yang menyampaikan pesan-pesan cinta Majnun kepada Laila.
Tak hanya Majnun yang mempertahankan cinta dalam penderitaan, rindu dan kesendirian tapi juga Laila. Bahkan mungkin Laila lebih berat menanggung cintanya dalam kesendirian. Qais masih mampu curhat ke siapa saja, ke bait-bait syair yang dibuatnya tetapi tidak dengan kekasih hatinya.
Laila cuma bisa memendam cintanya dalam kamar pingitan dengan kemudahan kesendirian dan kesepian.
Nasib cinta Laila itu ada kemiripan dengan nasib cinta kesendirian Kasiyem warga Desa Krondonan Kecamatan Gondang Bojonegoro. Tapi kegilaaan Kasiyem menjadi unik, berlawanan dengan Laila.
Pertemuan Tono dan Kasiyem
Pada tahun 80-an Kasiyem mendapatkan cinta dalam kegilaaanya di Buton (Bukit Tono), Desa Sambongrejo, Kecamatan Gondang Bojonegoro saat berjumpa Sutono (kelak lebih dikenal dengan panggilan Pak Tono) warga Nganjuk.
Di samping Bukit Tono juga ada sungai yang berair jernih mirip dengan gambaran bukit daerah tinggal Majnun supaya bisa menyaksikan sosok kekasihnya Laila. Sungai yang dijadikan jalur untuk menyampaikan pesan cinta Majnun ke Laila.
Tapi berlainan cinta dalam kegilaan Pak Tono dan Kasiyem dipertemukan di atas bukit, sementara Majnun sendirian di atas bukit cuma untuk membisikkan pesan-pesan cintanya terhadap Laila.
Kasiyem sekarang kembali ke desanya Krondonan. Ia tinggal di sebuah rumah kecil dengan ornamen dinding dari watu dan ranting-ranting kecil. Rumahnya dipagari ranting kayu jati kering berkeliling.
Pencarian Kasiyem
Jika ada orang akan masuk mesti merunduk rendah sebab pagarnya juga berfungsi selaku gerbang. Tingginya kurang lebih hanya satu meter. Rumahnya menghadap ke arah barat dan disisi kiri rumahnya ada lembah dari sebuah bukit.
Tepat di depan rumahnya ada suatu rumah yang difungsikan sebagai kandang sapi yang luasnya jauh lebih besar dari rumah yang ditempati kini. Dulu warga sekitar membangunkan rumah untuk Kasiyem sebab rumahnya dulu yang ditempati sekarang kebakaran, tapi Kasiyem tak mau menempati.
Ia menentukan rumahnya yang kini apa apanya, alasannya adalah kosong rumah yang dibangunkan warga itu difungsikan menjadi kandang sapi. Rumah Kasiyem berdekatan dengan “rumah” sapi.
Saat kami datang, Kasiyem sedang bersih-bersih halaman rumah. Halaman yang tak seberapa luasnya. Dia memunguti sampah-sampah tersebut dengan jongkok, kemudian menaruh sampah di rok-nya yang kumal. Setelah sampah di halaman rumahnya sudah bersih baru membuangnya di daerah sampah.
Kasiyem mengenakan ikat rambut merah dikala kami tiba. Tatanan rambutnya dikuncir tetapi sisi kanan kirinya tipis, mirip anak punk. Kata seorang sobat itu bukan model rambut kekinian tetapi alasannya rontok maka segi kanan dan kiri rambutnya rontok.
Seorang sahabat yang mengirimkan saya ke rumah Kasiyem eksklusif menyapa bersahabat. Tapi Kasiyem masih masbodoh, beberapa ketika kemudian gres Kasiyem merespon sambil masih sibuk dengan dirinya sendiri.
Wawancara dengan Kasiyem
Saya semula ragu untuk mengawali percakapan dengan Kasiyem, menyaksikan kondisinya tak memungkinkan untuk mengobrol. Tapi alasannya adalah telah jauh-jauh datang (perjalanan kurang lebih 1 jam dari kota Bojonegoro) maka tak ada opsi lain selain mencoba untuk mengobrol.
Kasiyem masih sibuk dengan dirinya, lalu aku sapa dengan pertanyaan : Mbah ndak pergi ke Buton ? Buton kini ramai dikunjungi orang.”
Saya pikir ini ialah sapaan dan pertanyaan kolot karena ketika Kasiyem mendapatkan cintanya di bukit tersebut nama bukit tersebut belum dikenal dengan nama Bukit Tono atau Buton. Tapi beberapa dikala Kasiyem menoleh dan tercenung kemudian kembali sibuk dengan dirinya sendiri.
Lalu saya menjajal mengingatkan sebuah nama, Pak Tono. Kekasih hatinya yang ditemui di Bukit bernama nama kekasihnya, Bukit Tono. Ia menoleh dengan pandangan sedikit nanar, ada raut tampang murung, kecewa dan frustasi. Lalu menjawab sekenanya dalam keputusasaan, “mbuh ra roh !”
Setelah jawaban itu terdengar dia kembali sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Mungkin pembaca di Bojonegoro sudah tau kata-kata “mbuh rah roh” yang diucapkan perempuan dikala ditanya dongeng cintanya di periode silam yang getir.
Ini yakni tanggapan untuk menutupi kisah cintanya serapat-rapatnya semoga tak membuka kembali getir luka. Sebuah jawaban luka dalam diam. Berusaha melewatkan tapi tentu kenangan soal dongeng cinta di era kemudian tak semudah melupakan seperti saat buang hajat di WC.
Jawaban ini juga mempunyai arti menyingkir dari pertanyaan lanjutan alasannya permasalahan cinta yaitu urusan paling eksklusif yang tak siapa saja mesti tahu. Selain itu juga orang waras sekalipun ketika ditanya orang yang gres dikenalnya soal masalah dongeng cintanya pasti juga akan menyingkir dari untuk bercerita.
Dan Kasiyem melakukan, bagi aku Kasiyem tak sepenuhnya aneh meski pun tak sepenuhnya waras juga. “Kewarasan” Kasiyem terlihat ketika sibuk menyuguhi makanan pada tamunya. Kami disuguhi sepiring nasi goreng dan ketela godok yang tampaknya telah agak bau.
Perkiraan kami, nasi goreng dan ketela yang disajikan yaitu kuliner Kasiyem. Menurut isu meski sudah mendapatkan jatah kuliner dari seorang warga yang mengurusnya tetapi Kasiyem masih tetap mengolah masakan.
Cinta yang Terpendam
Kesendirian Kasiyem mengingatkan pada Laila dalam cerita cinta inspitatif Laila-Majnun. Kasiyem seperti Laila memendam cintanya dalam kesendirian, kesedihan, keputusasaan dan tanpa sobat curhat tetapi terus menghadapi hidup yang penuh luka yang kian menguatkan.
Sosok Kasiyem mungkin telah tak dianggap ada keberadaannya sebab tersisih dalam pergaulan sosial, tetapi dalam kegilaannya ia pernah menorehkan kisah cintanya di Bukit Tono. Sebuah nama bukit kecil yang bernama kekasih hatinya.
Lalu bagaimana kabar Pak Tono? Kabar terakhir banyak yang menyebutkan masih hidup tapi keberadaannya masih dalam penelusuran kami.
Originally posted 2017-08-24 12:03:51.
0 Response to "Wisata Bukit Tono Dan Eksotisme Roman Cinta Ajaib"
Post a Comment