Membedah Kebijakan Desa Melalui Pisau Poskolonial
Potensi Desa – Poskolonialisme memengaruhi pembentukan struktur negara dan politik negara-negara meningkat . Proses kolonialisme yang panjang melahirkan hibridasi maupun homogenisasi struktur politik, sosial, dan kesadaran penduduk negara jajahan, tak terkecuali desa.
Desa atau disebut istilah lain sudah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI), bahkan sebelum pemerintahan Nederlandsch-India (Hindia Belanda). Karena itu, sejarah hubungan Desa dan Negara tidak dapat dilepaskan dari efek poskolonial, tergolong lahirnya UU No 6 tahun 2014.
Sejak 1854 pemerintah kolonial Belanda mengakui keberadaan desa (inlandsche gemeenten) untuk mengontrol rumah tangganya sendiri. Kebijakan itu berlaku hampir satu kala sampai hadirnya masa penjajahan Jepang. Pemerintahan Jepang juga tak banyak melakukan revisi, kecuali batasan era jabatan kepala desa (Ku-tyoo) menjadi empat tahun.
Putra (2016:12) menerangkan bunyi pasal “pengesahan atas hak asal-ajakan desa sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial” pada Regeringa Reglement 1854 diulang pada UU No 6 tahun 2016 dengan bunyi “akreditasi atas hak asal-undangan desa sepanjang tidak berlawanan dengan kepentingan negara”. Redaksionalnya sangat mirip, perbedaan kata cuma ada di ujung kalimat.
Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengakui budpekerti dan hak asal-seruan desa? Motif legalisasi pada desa adalah untuk menyingkir dari adanya perlawanan massif berbasis kultur dari masyarakat. Pemerintah Belanda cuma berkepentingan untuk mengeruk sumberdaya agraris (rempah-rempah) yang tersedia di desa. Berbeda dengan Portugis dan Spanyol yang melaksanakan dominasi kultural, Belanda menghalangi diri hanya untuk mengeruk sumberdaya material.
Kebijakan wacana desa pada Orde Lama (UU No 14 tahun 1946 perihal Pemilihan Kepala Desa dan UU No 19 tahun 1965 ihwal Desa Swapraja) tak jauh substansinya dengan pengaturan desa ada kala kolonial. Negara mengakui dan menghargai hak asli dan identitas desa, termasuk menunjukkan hak otonomi dalam pengurusan/pengaturan internal desa.
Perubahan kebijakan yang sungguh mendasar lahir pada abad Orde Baru lewat UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Berbekal sentimen perlawanan pada pemerintah kolonial, negara percaya diri menertibkan desa dalam bentuk manajemen pemerintahan yang seragam. Atas nama nasionalisme dan pembangunan, desa mesti bisa digerakkan secara bersamaan. Bila struktur desa bermacam-macam, maka negara sukar melaksanakan akumulasi dan agregasi potensi ekonomi desa. Bukannya tidak menghargai hak asal-undangan desa, UU No 5 tahun 1979 berupaya untuk memisahkan masalah pemerintahan desa dengan urusan budaya dan adab setempat desa.
Gerakan Reformasi 1998
Gerakan Reformasi 1998 menyebabkan pergantian pada regulasi desa. Lahirnya UU No 22 tahun 1999 wacana Pemda menjadi antitesis dari UU No 5 tahun 1979. Keragaman desa kembali diakui, baik dalam konteks tata pemerintahan maupun hak asal-ajakan. Otonomi asli kembali muncul, pertanggungjawaban kepala desa tak lagi ke atas, melainkan ke samping melalui Badan Perwakilan Desa (BPD).
Euforia reformasi tak berlangsung lama, korelasi negara dan desa kembali dirajut lewat UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pola kerjasama ke atas (supradesa) dan ke samping (BPD) dilaksanakan selaku bentuk pertanggungjawaban kuasa kelola desa. Pada masa ini timbul perumpamaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), dan Alokasi Dana Desa (ADD).
Beragam regulasi wacana desa di atas sejatinya berusaha untuk menerjemahkan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Hal gres yang ditawarkan oleh UU No 6 tahun 2014 perihal Desa hanyalah Dana Desa (DD). Pada 2015, pemerintah mengalokasikan DD sebesar 20,7 triliun dan pada 2016 berkembangmenjadi 46,9 triliun. UU Desa menjadi payung legal atas hadirnya alokasi APBN untuk desa. Selain itu, UU Desa tidak memberikan kebaruan apapun yang bersifat substansial.
Studi poskolonial memperlihatkan kebijakan desa pada era kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi pada dasarnya mengakui keragaman basis budaya desa. Perbedaan antar regulasi cuma terletak pada penataan pemerintahan desa, bukan penghilangan identitas kultural desa. Adagium posisi desa sebagi subjek dan objek lebih bersifat aktualisasi dibanding normatif.
Perubahan fundamental pada desa justru terjadi pada level internal desa. Kondisi desa di setiap era terang berubah-ubah. Modernisasi dan masuknya bermacam-macam teknologi sudah mengubah muka desa. Akibatnya, identitas kultural dan asal-seruan desa pun berevolusi. Baju sorjan, iket, dan kebaya telah berganti dengan kemeja, t-shirt, dan celana jeans. Tanah desa yang hijau sudah beralih fungsi menjadi pemukiman padat. Raung knalpot juga lebih sering terdengar dibanding bunyi serangga tonggeret.
Kini, desa bukan lagi sebagai perwujudan identitas kultural yang tunggal. Desa telah menjadi arena bertemunya bermacam-macam komunitas untuk bertransaksi–baik secara sosial, budaya, maupun ekonomi–sehingga berita demokrasi, akuntabilitas, partisipasi, toleransi, dan pelayanan nondiskriminatif semestinya menjadi berita utama desa.
Sudahi “perang” retorika Desa Membangun atau Membangun Desa karena bantu-membantu tantangan utama desa yaitu kenaikan kemakmuran ekonomi, perbaikan kualitas hidup, dan pengentasan kemiskinan. Di situlah lahir apa yang disebut kedaulatan desa.
Isi goresan pena ini banyak terilhami aliran Fadillah Putra (Staf Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya) dan Sutardjo Ps (Dewan Pengawas Gedhe Foundation) dalam diskusi informal di Kawasan Kalibata. Kajian pustaka juga dilakukan untuk memverifikasi dan mendetailkan sejumlah pokok pikiran yang terlontar pada diskusi tersebut.
Originally posted 2017-02-20 04:44:57.
0 Response to "Membedah Kebijakan Desa Melalui Pisau Poskolonial"
Post a Comment